KRISIS EKONOMI, KEBIJAKAN EKONOMI, DAN KELEMBAGAAN EKONOMI


Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa ekonomi dimana seiring dengan konidisi perekonomian dunia yang berjalan secara fluktuatif. bertepatan pada tahun 1997/1998 Indonesia berada pada situasi krisis ekonomi yang merubah segala struktur perekonomian Indonesia. Krisis ekonomi ini dialami oleh hampir semua negara berkembang di Asia Tenggara karena adanya kredit macet dalam skala besar yang kemudian menghambat segala aktivitas perekonomian karena nilai tukar yang bermasalah.  Akan tetapi, fenomena krisis 1997/1998 dianggap sebagai pijakan stuktur ekonomi baru. Pertama, krisis ekonomi yang sangat dahsyat sehingga menghancurkan seluruh sendi perekonomian, walaupun dimulai hanya dari sisi moneter. Kedua, wajah perekonomian dunia telah berubah drastis dan lanskap perekonomian menjadi lebih ramah kepada pasar, lebih terbuka, dan terdesentralisasi.
Perspektif Krisis Ekonomi
Sebelum tahun 1997/1998 khususnya di wilayah asia tenggara akumulasi pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dan stabil. Rata-rata pertumbuhan mencapai lebih dari lima persen dan inflasi dapat ditekan kurang dari dua persen. Investor memiliki kepastian usaha dan bagi konsumen daya belinya cukup kuat akibat tidak tergerus knaikan harga. Krisis ekonomi dipicu jatuhnya nilai tukar Bath (Thailand) terhadap US dollar pada 2 Juli 1997. Depresiasi nilai tukar menjalar (contagion effect) ke Malaysia, Indonesia, Korea Selatan, dan lain-lain. Tercatat, indeks harga saham di Thailand turun 80% dan mata uangnya terdevaluasi 100%; harga saham di indonesia turun 60% dan rupiah terdevaluasi hingga 600%; sedangkan Korea Selatan harga saham turun 65% dan won terdevaluasi 100%.
Dampak krisis moneter memengaruhi kinerja ekonomi secara keseluruhan, termasuk sektor riil. Fundamental ekonomi yang rapuh dan inkonsistensi kebijakan merupakan sumber utama krisis ekonomi cepat melanda dan kepanikan terjadi di sektor keuangan karena interaksi serta ekspetasi pelaku ekonomi yang berpengaruh langsung pada kebijakan makroekonomi.
Terdapat dua sudut pandang mengenai pemicu krisis, menurut Charoenseang dan Manakit. Pertama, fundamental ekonomi yang rapuh dan inkonsistensi kebijakan (first generation model). Kedua, kepanikan di sektor keuangan (financial panic) yang berinteraksi dengan ekspektasi pelaku ekonomi sehingga berpengaruh langsung terhadap kebijakan makroekonomi (second generation model).
a.    First Generation Model (dikembangkan oleh Krugman (1979) dan Flood dan Garber (1986)): Menjelaskan bahwa krisis tahun 1998 diyakini disebabkan oleh krisis mata uang sebagai hasil dari inkonsistensi fundamental dalam memformulasikan kebijakan ekonomi domestik yang ditandai dengan  tumbuhnya usaha konglomerasi dan mendominasi seluruh kegiatan ekonomi.
b.    Second Generation Model (dikembangkan oleh Obstfeld (1996)): Menjelaskan bahwa krisis tahun 1998 diyakini disebabkan oleh adanya kepanikan ekspektasi pelaku ekonomi sehingga berpengaruh langsung terhadap kebijakan makroekonomi ditandai dengan pemerintah yang mengambil keputusan melikuidasi 16 bank (sesuai anjuran IMF) pada November 1997.
Reformasi Ekonomi Terbalik
Desain reformasi ekonomi yang terjadi di Asia cenderung lewat pendekatan penahapan yang berurutan (gradual tetapi sistematis). Pendekatan ini menitikberatkan kepada strategi “bottom-up” dan menempatkan reformasi pada level mikro ekonomi, seperti reformasi kelembagaan (reformasi di sektor pertanian dan reformasi usaha-usaha industri) dan reformasi harga, mendahului reformasi pada level makro ekonomi (kebijakan fiskal, moneter, dan reformasi perdagangan luar negeri). Terdapat dua pendekatan yang dilakukan pemerintah, pertama, membuat korporasi seperti BUMN melakukan perbaikan pada kinerja dan manajemen lebih transparan seperti pada pendekatan Asia Timur dimana banyak menempuh upaya perluasan otonomi dan akuntabilitas. Kedua, pendekatan dengan cara melakukan privatisasi untuk reformasi kinerja BUMN.
Namun, Indonesia terbalik dalam mempraktikan reformasi ekonomi dimana pemerintah mengubah hak kepemilikan sumber daya ekonomi menuju kepemilikan swasta termasuk sumber daya ekonomi yang seharusnya dimiliki oleh negara. Lalu, kontrol harga dilepas satu per satu, khususnya yang berhubungan dengan komoditas pertanian. Selanjutnya, adanya liberalisasi yang dijalankan secara ekstensif, baik di sektor perdagangan maupun investasi asing.
Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, menyebabkan terjadinya reformasi ekonomi di Indonesia. Secara hierarki, reformasi tersebut dapat dibaca dari tiga level, antara lain:
a.    Reformasi pada tingkat mikro: terjadi ketika beberapa sektor ekonomi (manufaktur, perbankan, transportasi, dan lain-lain) dideregulasi dan diliberalisasi.
b.    Reformasi pada tingkat meso: mendesain manajemen pembangunan ekonomi (politik) yang mulai didesentralisasi, yang kemudian dikenal dengan istilah otonomi daerah.
c.    Reformasi pada tingkat mikro yang berjalan dengan sehat: perubahan sistem persaingan ekonomi untuk merancang ekonomi ke arah persaingan yang sehat sehingga semua pelaku ekonomi memiliki akses yang sama.
Terdapat persoalan ekonomi yang belum dapat dipecahkan, bahkan ada beberapa aspek yang malah tejadi penurunan. Pertama, pertumbuhan yang tinggi bersamaan dengan naiknya ketimpangan pendapatan antarindividu/kelompok maupun antardaerah. Kedua, deregulasi dan liberalisasi yang dianggap akan meningkatkan efisiensi ekonomi, namun efisiensi dan daya saing ekonomi nasional tidak bergerak maju secara proporsional dengan percepatan liberalisasi. Ketiga, akses angkatan kerja masuk ke sektor formal semakin sempit sehingga jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal bertambah dari waktu ke waktu.
Terdapat dua argumen tentang kegagalan sebagian program reformasi ekonomi di Indonesia. Pertama, analisis pilihan dan urutan kebijakan reformasi ekonomi. Kebijakan reformasi antar negara tidak bisa diseragamkan karena masing-masing karakteristik dan problem ekonomi yang berlainan. Kedua, lemahnya desain dan penegakan kelembagaan (rules of the games) dari kebijakan yang telah dibuat. Pada level makro (institutional environment) berkonsentrasi kepada penyusunan kerangka hukum, ekonomi, dan politik. Sedangkan pada level mikro (institutional arrangement) mendesain aturan main yang memungkinkan semua pelaku ekonomi dapat bersaing (competition) atau bekerja sama (cooperation) secara adil (fair).
Implikasi serius dari kebijakan reformasi ekonomi secara rinci bisa dilihat dalam lima ciri yang disebut cost of economic reform, antara lain:
1.    Liberalisasi keuangan hanya menjadi instruen menafkahi kepentingan sektor keuangan itu sendiri, bukan menumbuhkan sektor riil.
2.    Petani makin terjerembab karena kontrol harga dilepas, sementara penentu harga adalah pedangan/distributor.
3.    Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh non-tradeable sector yang import content-nya tinggi dan penyerapan tenaga kerjanya rendah.
4.    Marginalisasi pelaku ekonomi tradisional dan skala kecil akibat kalah bersaing dengan pelaku ekonomi besar di sektor perdagangan.
5.    Akumulasi dari rangkaian kebijakan reformasi ekonomi tersebut membuat ketimpangan pendapatan meningkat seiring laju ekonomi yang tinggi.
Kerapuhan Kelembagaan Makro
Problem reformasi ekonomi disebabkan oleh ketiadaan kelembagaan atau strategi reformasi kelembagaan (institutional reform). Kelembagaan ekonomi yang baik akan mendorong masyarakat berinvestasi, mengakumulasi modal, dan mengembangkan teknologi baru sehingga masyarakat menjadi lebih sejahtera. Reformasi kelembagaan merupakan enabling environment yang membuat kebijakan reformasi dapat berjalan seperti yang diharapkan. Spirit reformasi ekonomi adalah pasar menjalankan misi percepatan kegiatan ekonomi dengan basis efisiensi. Reformasi ekonomi menghendaki pemerintahan yang kuat tetapi dengan cakupan ruang lingkup yang terbatas (strong but limited government). World Economic Forum (2012) mengungkapkan penyebab daya saing ekonomi Indonesia yang rendah diakibatkan oleh korupsi dan inefisiensi birokrasi.
Kejelasan hak kepemilikan dan respek terhadap penegakkan hukum sebagai faktor mendasar yang menentukan stabilitas makroekonomi, pengembangan pasar modal, pembangunan sektor usaha, dan investasi dalam inovasi. Adanya kejelasan hak kepemilikan membuat transaksi lebih mudah dilakukan karena masing-masing pelaku ekonomi memiliki kepastian tentang status suatu barang/jasa. Akan tetapi, terdapat tiga aspek reformasi kelembagaan (institutional reform) pada level makro yang kurang tersentuh sehingga mengakibatkan kerapuhan, antara lain:
a)    Kelembagaan reformasi administrasi (administrative reform),
b)   Sistem hukum (legal system reform), dan
c)    Politik (political reform).
Kedangkalan Kelembagaan Mikro
Selain adanya kegagalan untuk menciptakan perubahan kelembagaan makro yang menjadi enablin environment perjalaan reformasi ekonomi, masalah kelembagaan juga muncul pada level mikro (institutional arrangement). Reformasi ekonomi di Indonesia dapat menghasilkan stabilitas mikroekonomi yang relatif bagus, namun meninggalkan residu yang juga menjadi masalah, antara lain masalah kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan pengangguran. Hal tersebut disebabkan oleh faktor, yaitu:
a)    Meskipun dana dan banyak kebijakan ekonomi sudah diproduksi untuk mengatasi masalah kemiskinan, namun penurunan jumlah orang miskin tidak terjadi secara signifikan. Hal ini dikarenakan pemerintah alpa merumuskan kebijakan langsung yang mengaitkan kelembagaan dengan strategi pengurangan kemiskinan, tidak melalui penciptaan aturan main (rules of the game).
b)   Pertumbuhan ekonomi yang stabil justru menjadi lahan subur bagi peningkatan ketimpangan.Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor. Pertama, adana tendensi kesnjangan antara inflasi dan upah minimum yang semakin tipis. Kedua, liberalisasi keuangan hanya menjadi instrumen memutar dana dari satu pemilik modal ke pemilik modal lainnya.
c)    Pengangguran terbuka secara sistematis menunjukkan penurunan, tetapi jumlah pekerja yang tergolong setengah menganggur masih sangat besar.
Berikut merupakan tabel yang memberikan arahan tentang pekerjaan - pekerjaan kelembagaan yang harus diformulasikan dan dijalankan untuk mengatasi masalah makro dan mikro yang menjadi kerapuhan dalam kelembagaan.
Reformasi Kelembagaan yang Perlu Dibangun
Level Kelembagaan
Rincian Aturan Main
Hasil yang Diharapkan
Kelembagaan Makro
Reformasi Administrasi
Sistem meritokrasi;
Remunerasi yang layak;
Penerapan reward and punishment;
Peningkatan kompetensi aparat birokrasi.
Sistem birokrasi dan administrasi yang mampu menjalankan kebijakan reformasi ekonomi secara efektif.
Reformasi hukum/legal
Memperkuat independensi;
Remunerasi yang layak;
Penegakan aturan main yang konsisten;
Perlindungan terhadap hak kepemilikan.
Sistem legal yang bisa diakses semua masyarakat, ada kepastian, adil, konsisten, dan cepat.
Reformasi politik
Penguatan checks and balances;
Transparansi proses pengambilan keputusan;
Sirkulasi dan pembagian kekuasaan.
Sistem politik yang bekerja demi memenuhi kebutuhan rakyat, bukan berjalan karena motif-motif keuntungan pribadi (rent-seeking).
Kelembagaan Mikro
Kelembagaan pengurangan kemiskinan
Statuta hubungan antarpelaku ekonomi;
Memangkas dominasi posisi pedagang lokal;
Regulasi penambahan lahan;
Menghidupkan aset yang mati;
Penguatan koperasi serta usaha kecil dan menengah.
Pengurangan kemiskinan secara cepat dan memberi peluang berusaha permanen secara memadai/laik.
Kelembagaan pengurangan ketimpangan pendapatan
Pengendalian harga pangan;
Statuta upah minimum yang layak;
Pengaturan kepemilikan aset produktif;
Kuota kredit ke sektor pertanian dan IBT (luar jawa).
Pemerataan pendapatan, baik antarindividu, antarsektor, maupun antarwilayah.
Kelembagaan pengurangan pengangguran
Peningkatan insentif di sektor pertanian, termasuk merombak kelembagaan distribusi;
Menyederhanakan dan mengurangi biaya izin usaha;
Peningkatan akses modal;
Perlindungan sektor informal.
Pengurangan pengangguran, khususnya akibat penerapan kebijakan yang salah, sehingga tiap orang dapat memaksimalkan kapabilitas individu.
Kelembagaan Sosial
Jaminan kebutuhan dasar
Tunjangan pengangguran, perumahan, dan usia lanjut;
Skema pendidikan dan kesehatan.
Menjamin setiap orang dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak.
Transfer pendapatan
Pajak progesif dan subsidi terfokus (targeted);
Jaminan kerja yang layak.
Memastikan setiap orang memiliki kesempatan kembali masuk ke pasar kerja.

DAFTAR PUSTAKA
Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta: Erlangga.







Comments

Popular posts from this blog

PESAN DAN KESAN SELAMA MENGIKUTI PEMBELAJARAN EKONOMI KELEMBAGAAN

TEORI EKONOMI BIAYA TRANSAKSI

TEORI HAK KEPEMILIKAN