PERSPEKTIF AWAL TENTANG EKONOMI KELEMBAGAAN
Ekonomi
kelembagaan secara umum berisi mengenai suatu pandangan mengenai sistem ekonomi
yang ada untuk mencapai sebuah efisiensi dalam perekonomian. Kaum ekonomi
kelembagaan hadir untuk melakukan kritik terhadap asumsi – asumsi aliran
ekonomi klasik dan neo klasik dalam menafsirkan arti dari efisiensi dalam
ekonomi dan cara untuk mencapai efisiensi tersebut. Hal tersebut bukan berarti
padangan ekonom klasik dan neo klasik tidak aplikatif lagi atau sudah tidak valid,
akan tetapi, hadirnya kaum ekonomi kelembagaan untuk memberikan perbaikan atau menyempurnakan
celah – celah perspektif dari kedua aliran tersebut.
Ekonomi
kelembagaan berdasar pada dua kata yaitu “ekonomi” dan “kelembagaan”. Ekonomi
yang berasal dari “oikos” yang berarti rumah tangga dan “nomos”
yang berarti peraturan, lalu kelembagaan yang berarti institusi. Oleh karena
itu, pada ekonomi kelembagaan banyak mempelajari mengenai behaviour dari
pelaku – pelaku ekonomi khususnya instisusi atau firm dalam mencapai
efisiensi menurut asumsi ekonomi kelembagaan. Adapun definisi mengenai
institusi, yaitu menurut Douglas C. North, institusi sebagai aturan-aturan (constraints)
yang diciptakan oleh manusia untuk mengatur dan membentuk interaksi politik,
sosial, dan ekonomi. Aturan-aturan tersebut terdiri dari aturan formal seperti
undang-undang, konstitusi dan aturan informal seperti norma sosial, konvensi,
adat istiadat.
Terdapat
beberapa definisi ekonomi kelembagaan menurut ahli, salah satu ahli menyebutkan
bahwa ekonomi kelembagaan adalah cabang ilmu ekonomi yang menekankan pada
pentingnya aspek kelembagaan dalam menentukan bagaimana sistem ekonomi dan
sosial bekerja (Black, 2002).
Dalam kajian secara
historis, akar yang menjadi awal atau dasar dari ekonomi kelembagaan telah ada
sejak lama, dimulai dari ahli – ahli kelembagaan dari tradisi AS, seperti
Thorstein Veblen, Wesley Michell, John R. Commons, dan Clarence Ayres. Selain
iu, juga terdapat pandangan – pandangan yang diungkapkan oleh ekonom aliran
klasik, seperti Adam Smith dan John Stuart Mill; Karl Marx dan aliran Marxian
lainnya; Mazhab Austria seperti Menger, von Wieser, dan Hayek; Schumpeter; dan
tokoh neoklasik, khususnya Marshall. Tradisi dan asumsi yang pertama ini
disebut dengan “Ilmu Ekonomi Kelembagaan Lama” (old institutional economics).
Selanjutnya, terdapat
kelanjutan dari pandangan awal sebelumnya yang dianggap sebagai perluasan dari
elemen – elemen kelembagaan yang diatemukan pada aliran ekonomi klasik, neo
klasik, dan mazhab Austria yang biasa disebut dengan “Ilmu Ekonomi Kelembagaan
Baru” (new institutional economics). Adanya istilah “baru” dan “lama”
bukan berarti yang lama tidak berlaku lagi atau telah mati, melainkan lebih
kepada konteks pembedaan pada tradisi berpikir atau pola piker dan konsentrasi
isu yang ada.
Salah
satu kunci dalam aspek ekonomi kelembagaan adalah menyangkut property right
atau hak pemilikan. Property right yang melekat ini berbentuk aturan
formal dan juga norma sosial dan adat. Relevansi dari hak pemilikan ini
tergantung dari seberapa besar ia bisa dijalankan dan diakui dalam masyarakat.
Barzel (1989) menulis dalam bukunya mengenai Economic of Property Rights, selain
itu Cheung (1968) melakukan study mengenai share cropping di Taiwan.
Kedua studi tersebut membuktikan bahwa ketidakjelasan hak pemilikan dan enforced
property rights terbukti menjadi penghalang dalam mentransformasi
pembangunan ekonomi yang berkaitan dengan lahan.
Kunci
aspek ekonomi kelembagaan yang lain yaitu berupa biaya transaksi. Biaya
transaksi adalah sisi lain atau pendekatan lain yang digunakan untuk
menjelaskan aspek ekonomi dari kelembagaan (Black, 2002). Biaya transaksi
mempertimbangkan manfaat dalam melakukan transaksi baik dalam organisasi dan
antar organisasi yang berbeda dengan menggunakan mekanisme pasar. Manfaat yang
ada tersebut merupakan salah satu pembeda dengan konsep aliran klasik yang
lebih menekankan pada efisiensi harga (price) saja tanpa memperhitungkan
dampak sosial yang ada. Ekonomi kelembagaan dalam hal ini juga mempertimbangkan
aspek sosial guna menciptakan kesejahteraan.
Maka
dari itu, dapat diperoleh inti dari ilmu ekonomi kelembagaan yaitu dimana menjadi
ilmu ekonomi yang menekankan pada hak kepemilikan, biaya transaksi, dan aspek
social. Hak milik berperan ketika individu atau kelompok yang memiliki sarana
atau faktor produksi dalam perekonomian, membuat pemilik memiliki keleluasaan
atau wewenang untuk mengatur dan berperan dalam sektor perekonomia serta
pengembangannya. Dalam hal ini pemilik faktor produksi menjadi pelaku
pengembangan perekonomian.
Biaya
transaksi yang ada menciptakan pertimbangan dalam beberapa aspek ekonomi,
antara lain bounded rationality (rasionalitas terbatas), masalah
informasi, biaya negosisasi kontrak dan opportunity yang mana semuanya
mempengaruhi behaviour pelaku ekonomi. Hasil final dari adanya ekonomi
kelembagaan adalah dimana dapat menciptakan efisiensi dalam perekonomian tanpa
merugikan salah satu pihak pelaku ekonomi dengan mempertimbangkan dampak sosial
yang diakibatkan sehingga tercipta kesejahteraan yang inklusif.
Daftar
Referensi
Yustika.
2013. Ekonomi Kelembagaan Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Malang:
Penerbit Erlangga.
Baiqdian
(2011, 15 Juni). Ekonomi Kelembagaan. Dikutip 25 Agustus 2019 dari:
https://baiqdian.wordpress.com/2011/06/15/ekonomi-kelembagaan/
Comments
Post a Comment